Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Nanik Sudaryati Deyang, Wakil Ketua BGN, dan ia juga seorang ibu. Ia merasakan betapa perih dan traumanya ibu-ibu yang anaknya keracunan MBG. Itu sebabnya, ia tak bisa membendung air matanya. Tangisan Nanik seperti tangisan nasional. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Ada anak buah Prabowo yang suka marah-marah sampai pegawainya demo. Ada yang cinta mati sama istri, tapi begitu istrinya jalan-jalan ke luar negeri malah suaminya lapor ke KPK. Ada juga kena OTT KPK. Ada pula pejabat yang mundur karena merasa tak bisa kerja. Ada yang hobinya main domino, ada yang nyinyir ke guru dan dosen, bahkan ada yang disebut-sebut jadi backing judi online. Lengkap sudah.
Namun, Nanik Sudaryati Deyang lain cerita. Ia bukan marah, bukan main kartu, bukan nyindir dosen. Ia justru menangis tersedu, seakan air matanya menjadi berita utama di layar kaca. Lahir di Madiun, 3 Januari 1968, berkarier sebagai jurnalis senior, mantan pemimpin tabloid Femme, Direktur Info Kecantikan, Info Kuliner, The Politic, hingga akhirnya duduk sebagai Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN). Sebelumnya ia menjabat Wakil I BP Taskin 2024–2029, dan bahkan dipercaya sebagai Komisaris Independen Pertamina.
Tangisnya itu datang saat badai besar melanda program andalan Prabowo: Makan Bergizi Gratis (MBG). Data resmi menyebutkan lebih dari 6.452 siswa di seluruh Indonesia mengalami keracunan. Jawa Barat menjadi juara pahit dengan 2.012 siswa. Di DIY, Jawa Tengah, Bengkulu, dan Sulawesi Tengah, ratusan siswa ikut tumbang. Yang paling dramatis: lonjakan Agustus–September 2025, terutama di Bandung Barat, Cipongkor dan Cihampelas, lebih dari 1.200 siswa masuk daftar korban. Bahkan ibu menyusui ikut terdampak, seakan-akan gizi yang dimaksud justru berubah jadi tragedi.
Air mata Nanik jatuh di ruang rapat saat ia mengumumkan pembentukan tim investigasi. Bukan air mata biasa, tapi air mata bercampur garam, menetes ke meja birokrasi, seakan-akan akta investigasi harus dicap sah dengan linangan kesedihan. Ia tahu, tugasnya bukan sekadar menghitung kalori, tapi juga menghitung luka ribuan keluarga yang anaknya muntah-muntah di ruang UKS.
Prestasinya? Jangan salah. Ia pernah menerima Tanda Kehormatan dari Presiden Prabowo pada 25 Agustus 2025. Bayangkan, beberapa hari kemudian ia justru harus menghadapi tsunami data keracunan yang disebut JPPI dan Kemenkes sebagai kejadian luar biasa (KLB). Dari podium kehormatan, ia langsung jatuh ke lumpur tanggung jawab. Kalau ini drama teater, tirai panggung sudah robek saking dahsyatnya plot twist.
Namun inilah filsafat tebus kesalahan, pejabat lain bisa memilih marah, bisa memilih mundur, bisa memilih domino. Tapi Nanik memilih menangis. Tangisan itu seperti doa panjang, seolah ia memohon ampun pada jutaan perut kosong yang diganti dengan perut mulas. Ia menatap rakyat dan mungkin berbisik dalam hati, “Aku dulu wartawan yang mengkritik pejabat. Kini aku pejabat yang dikritik. Jangan biarkan aku jadi berita buruk selamanya.”
Di negeri yang penuh slogan dan baliho, justru air mata pejabat lebih jujur daripada pidato panjang. Di tengah 6.452 siswa yang terkapar, di tengah 2.012 anak Jawa Barat yang menahan mual, di tengah ibu menyusui yang ikut muntah, tangisan Nanik adalah pengingat bahwa kekuasaan tak selamanya kokoh. Kadang-kadang, bangsa ini lebih butuh pejabat yang tahu cara menangis tersedu sampai air mata bercucuran ke pipi, dari pejabat yang sekadar tahu cara marah, main kartu, atau mem-backup judol.
Semoga saja, setelah berurai air mata kesedihan itu, tidak ada lagi siswa keracunan. Karena, hanya itu ukurannya. Kalau memang masih terjadi parade muntah-muntah, Nanik mesti harus lebih kencang lagi nangisnya.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Publisher : Krista#camanewak
Komentar0