Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Pontianak — Monitorkrimsus.com
Lama kita tak bahas korupsi kuota haji. Banyak nanya, udah sampai di mana sih, Bang? Kebetulan memang ada cerita baru. KPK kembali melakukan penyitaan barang. Cuma, tersangkanya belum ada. Simak lagi narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
KPK kembali mengguncang panggung republik dengan ritual penyitaan. Dua rumah mewah ASN Kemenag disedot masuk keranjang, USD 1,6 juta ikut digaruk, Mazda CX-3 dan motor Vespa Sprint serta PCX digiring masuk gudang barang bukti. Beberapa tanah bangunan turut dipasangi garis kuning. Pokoknya, seperti manasik penyitaan. Lengkap dengan iring-iringan mobil penyidik yang lebih teratur dari rombongan kloter.
Namun ada satu hal yang membuat publik gelisah lebih dari jemaah yang kehilangan gelang identitas, tersangkanya belum muncul juga. Hilalnya belum tampak. Bahkan, bayangannya saja belum kelihatan di ufuk timur. Publik sampai menengok ke langit sambil memicingkan mata, berharap ada siluet wajah seseorang yang jatuh dari kabut hukum. Tetapi nihil. Yang ada hanya update terbaru, penyitaan bertambah, pangkalan bukti membludak. Sementara nama pelaku masih misterius seperti nomor antrean haji yang baru cair 37 tahun kemudian.
Para ahli hukum tentu tidak panik. Mereka sudah terbiasa dengan ritme hukum yang kadang seperti wukuf di Arafah, diam, hening, tapi sesungguhnya sangat sakral. Mereka menjelaskan, penyitaan tanpa tersangka itu sepenuhnya sah. KUHAP membolehkan, MK mengangguk, bahkan filsafat hukum ikut tepuk tangan. Logikanya jelas, barang bukti harus diamankan dulu. Jangan sampai uang dolar kabur ke Mekah, rumah dijual ke sepupu jauhnya, atau motor Vespa tiba-tiba dipakai live TikTok oleh terduga pelaku. Penyitaan adalah upaya penyelamatan artefak hukum, bukan audisi mencari idol.
Kata para profesor, langkah ini seperti pelaksanaan haji. Rukunnya ada urutan. Tidak bisa langsung lempar jumrah kalau thawaf saja belum. Begitu juga penyidikan, amankan bukti dulu, tetapkan tersangka kemudian. Jangan dibalik. Kalau dibalik, bisa rusak manasik hukum nasional. Penyitaan dulu itu ibarat memastikan jemaah tidak hilang sebelum pesawat take off, keamanan mendahului drama.
Tetapi rakyat kita, yang jiwanya sudah ditempa oleh sinetron dan politik musiman, tentu ingin lebih. Mereka ingin nama. Minimal satu. Kalau bisa dua, sebagai bonus. Di dalam kepala mereka, penyitaan tanpa tersangka itu seperti keberangkatan haji tanpa daftar nama jemaah. Ada pesawat, ada koper, ada seragam, tapi tak ada siapa pun yang dipanggil naik. Absurd sekali. Membuat orang bertanya-tanya, “Ini sebenarnya mau berangkat atau cuma latihan?”
Dengan jumlah aset yang disita semakin bervariasi, publik makin penasaran. Bahkan ada yang berseloroh, “Kalau penyitaan sudah seperti musim haji tambahan, kapan tersangka diumumkan? Menunggu hilal atau menunggu sidang isbat?” Tentu ini sarkasme penuh cinta pada dunia hukum Indonesia yang selalu penuh kejutan, seperti tiba-tiba mendapatkan kuota tambahan setelah menunggu belasan tahun.
Tetapi justru di situlah seni penyidikan dimainkan. KPK tidak boleh tergesa-gesa. Mereka sedang melakukan wukuf hukum, merenung, menghimpun bukti, memastikan arah kiblat penyidikan tidak meleset. Sebab kalau tersangka diumumkan tanpa bukti yang kokoh, publik akan marah, pengacara akan berteriak, dan pasal-pasal akan meneteskan air mata.
Kini rakyat Indonesia hanya bisa menunggu, seperti menunggu hilal Idulfitri. Tak sabar, deg-degan, sedikit emosi, tapi tetap berharap. Sebab pada akhirnya, hari itu pasti tiba. Hari ketika tersangka diumumkan, dan seluruh negeri berseru lega, alhamdulillah, akhirnya terlihat hilalnya.
Foto Ai hanya ilustrasi
Publisher : Kris#camanewak

Komentar0