Kapuas Hulu — Monitorkrimsus.com
Kelangkaan bahan bakar minyak dan gas telah menjadi isu berulang yang menimbulkan kegelisahan sosial di berbagai daerah di Indonesia, dan Kabupaten Kapuas Hulu, khususnya Kecamatan Bunut Hulu, tidak terkecuali. Fenomena kelangkaan gas elpiji 3 kilogram (gas melon), yang seharusnya menjadi barang subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, telah menimbulkan polemik serius. Kenaikan harga yang signifikan, dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah daerah hingga mencapai Rp40.000, serta hilangnya ketersediaan gas di tingkat pengecer, bukan sekadar masalah ekonomi biasa, melainkan sebuah isu krusial yang mengancam ketahanan hidup sehari-hari masyarakat Bunut Hulu. Krisis ini memerlukan analisis mendalam mengenai rantai distribusi, pengawasan kebijakan, dan dampak sosial yang ditimbulkannya. Sabtu (20/12/25).
Gas elpiji 3 kilogram merupakan program subsidi pemerintah yang dirancang untuk memastikan kelompok masyarakat prasejahtera dapat mengakses energi rumah tangga dengan harga terjangkau. Di wilayah terpencil seperti Kecamatan Bunut Hulu yang berada di pedalaman Kalimantan Barat, ketergantungan pada gas melon sangat tinggi karena alternatif sumber energi lain sering kali sulit diakses atau terlalu mahal. Ketika pasokan terganggu atau harga melambung, dampaknya langsung terasa pada stabilitas rumah tangga. Kenaikan harga hingga Rp40.000 per tabung, jauh di atas HET yang berlaku, mengindikasikan adanya kebocoran atau penyelewengan dalam mekanisme penyaluran.
Penyebab utama dari ketidakstabilan pasokan dan kenaikan harga di tingkat konsumen sering kali berakar pada masalah distribusi di tingkat hulu dan tengah. Kecamatan Bunut Hulu, dengan karakteristik geografis yang menantang, rentan terhadap praktik penimbunan atau pengalihan distribusi. Fakta bahwa gas melon yang seharusnya disalurkan kepada pangkalan resmi kemudian sulit ditemukan atau dijual dengan harga tinggi menunjukkan bahwa ada potensi penyalahgunaan kuota. Agen atau pangkalan yang menerima jatah resmi mungkin menjualnya kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih menguntungkan, yang kemudian memasukkannya kembali ke pasar gelap dengan harga premium, atau menjualnya langsung kepada konsumen yang mampu membayar lebih, mengabaikan hak masyarakat miskin yang menjadi sasaran utama subsidi tersebut.
Dampak dari kelangkaan ini sangat terasa dalam kehidupan sosial masyarakat Bunut Hulu. Bagi keluarga dengan ekonomi terbatas, kenaikan harga menjadi beban tambahan yang signifikan. Jika seorang ibu rumah tangga harus mengeluarkan dana dua hingga tiga kali lipat dari seharusnya hanya untuk memenuhi kebutuhan memasak sehari-hari, hal ini secara otomatis mengikis alokasi dana untuk kebutuhan pokok lain seperti pendidikan atau kesehatan. Dalam beberapa kasus ekstrem, kelangkaan memaksa masyarakat kembali menggunakan metode memasak tradisional seperti kayu bakar, yang tidak hanya tidak praktis tetapi juga memiliki dampak negatif terhadap kesehatan paru-paru dan lingkungan sekitar. Hilangnya pasokan secara total, seperti yang dilaporkan terjadi, menunjukkan kegagalan sistem pengawasan daerah dalam menjamin ketersediaan energi dasar.
Untuk mengatasi polemik ini, diperlukan intervensi multisegmen. Pertama, penguatan pengawasan di tingkat pangkalan dan agen harus menjadi prioritas utama Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu bekerja sama dengan Hiswana Migas setempat. Data penyaluran harus diverifikasi secara berkala untuk memastikan bahwa kuota yang didistribusikan benar-benar sampai pada tangan masyarakat yang berhak. Penggunaan sistem verifikasi berbasis data kependudukan (misalnya, melalui kartu keluarga sejahtera) di tingkat pangkalan dapat meminimalisir praktik penjualan kepada pihak yang tidak berhak.
Kedua, aspek logistik di wilayah terpencil seperti Bunut Hulu perlu ditinjau kembali. Karena tingginya biaya transportasi dan sulitnya akses, kadang kala distributor menaikkan harga awal dengan dalih biaya operasional. Pemerintah daerah perlu mensubsidi atau memfasilitasi transportasi penyaluran gas agar HET yang ditetapkan dapat dipertahankan hingga ke tingkat pengecer akhir. Program inspeksi mendadak (sidak) ke pangkalan yang diduga menimbun atau menjual di atas HET harus dilakukan secara intensif dan tanpa pemberitahuan sebelumnya untuk mendapatkan data akurat mengenai praktik di lapangan.
Ketiga, literasi publik mengenai hak konsumen dan mekanisme pelaporan perlu ditingkatkan. Masyarakat Bunut Hulu perlu diberdayakan untuk berani melaporkan jika mereka menemukan praktik jual beli gas melon di atas harga yang ditetapkan atau jika pasokan tiba-tiba menghilang tanpa alasan yang jelas. Mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan direspons cepat oleh aparat terkait akan menciptakan efek jera bagi oknum yang bermain mata dalam rantai distribusi energi subsidi ini. Kegagalan dalam menindak tegas pelanggaran ini akan semakin memperparah citra pemerintah dan menumbuhkan ketidakpercayaan publik.
Kesimpulannya, kelangkaan dan lonjakan harga gas elpiji 3 kilogram di Kecamatan Bunut Hulu, Kapuas Hulu, mencerminkan kerentanan sistem distribusi energi bersubsidi di wilayah terpencil. Fenomena dari harga Rp40.000 hingga ketiadaan pasokan sama sekali adalah indikator nyata adanya kegagalan pengawasan yang secara langsung mengancam ketahanan ekonomi rumah tangga masyarakat yang paling rentan. Untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan kebutuhan dasar terpenuhi, diperlukan sinergi antara penegakan hukum yang tegas terhadap penimbun, perbaikan infrastruktur distribusi, serta pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengawasan rantai pasok. Hanya dengan langkah konkret dan berkelanjutan, polemik kebutuhan energi dasar ini dapat diselesaikan secara adil.
Publisher : DEDE BLACK

Komentar0