TSriBSA8GfrlBSClGpMiGpYoGi==

Waduh, Susah Mau Ber-word-word Lagi, Kapolri dengan Entengnya Melanggar Putusan MK

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Makin ke sini, ia makin ke sana. Kita selalu diultimatum, taati aturan. Hanya bisa bilang, “siap ndan!” Gimana kalau si komandan justru melenceng dari hukum. “Ayap ye..” kata orang Sambas. Udah tak bisa ber-word-word lagi lah, duh negeri saya, negeri ente, dan negeri kita. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!

Di republik tercinta ini, hukum itu seperti rambu lalu lintas, sakral, agung, dan wajib ditaati, khususnya oleh rakyat kecil. Mak-mak yang sen kanan belok kiri langsung naik pangkat jadi ancaman negara. Helm lupa dikancing? Silakan masuk sejarah kriminalitas nasional. Tapi lucunya, ketika penegak hukum sendiri yang belok kiri tanpa sen, negara justru pura-pura buta warna. Hijau dianggap cokelat. Putusan MK dianggap angin lalu. Angin sepoi-sepoi yang enak buat tidur siang.

Mahkamah Konstitusi sudah berbicara. Putusan final. Mengikat. Titik. Polisi aktif tidak boleh duduk di jabatan sipil. Kalau mau jadi pejabat, silakan gantung seragam, pensiun, atau pamit baik-baik. Itu logika sederhana, bahkan anak TK yang baru hafal Pancasila pun paham. Tapi di negeri penuh keajaiban ini, muncul Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sebuah karya sastra hukum yang seolah berkata, “Putusan MK itu saran, bukan perintah.”

Tanggal 9 Desember 2025, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menandatangani aturan yang membuka pintu lebar-lebar bagi polisi aktif untuk duduk manis di 17 kementerian dan lembaga. Tujuh belas, wak. Bukan dua, bukan tiga. Ini bukan lagi penyelundupan halus, ini konvoi pakai sirene. Publik pun bertanya, ini negara hukum atau negara hukum-hukuman?

LBH Medan langsung angkat tangan. Bukan buat hormat, tapi buat protes. Mereka menyebut ini pelanggaran terang-benderang. Ya, seterang lampu stadion GBK. Advokat Syamsul Jahidin menyebutnya pembangkangan konstitusi. Media arus utama ikut menabuh genderang,  constitutional disobedience. Bahasa halusnya, bandel. Bahasa rakyatnya, ngeyel.

Tentu, dalam setiap kisah absurd selalu ada tokoh pembela. Haidar Alwi Institute hadir sebagai penyeimbang semesta, menyatakan semua baik-baik saja, tidak ada yang dilanggar, semua sesuai koridor. Seperti mengatakan gajah itu sebenarnya kucing, hanya badannya besar dan belalainya panjang. Publik dipersilakan percaya, atau minimal pura-pura percaya demi ketenangan batin.

Lalu datang Mahfud MD. Ia bilang, ini bertentangan dengan undang-undang dan putusan MK. Polisi harus netral. Polisi tidak boleh jadi alat politik. Reformasi Polri itu bukan hiasan slide PowerPoint, tapi kerja serius. Disampaikan di forum resmi, di kampus, di hadapan publik. Lengkap. Jelas. Terang.

Masalahnya, cak, di negeri ini terang tidak selalu berarti dilihat. Putusan MK bisa kalah pamor dengan tanda tangan satu pejabat. Konstitusi bisa keok oleh peraturan internal. Hukum bisa dipelintir seperti permen karet, ditarik, dikunyah, dibuang kalau hambar.

Dampaknya? Jangan tanya. Kepercayaan publik yang sudah tipis seperti tisu basah makin robek. Polri yang seharusnya jadi teladan malah terlihat seperti murid nakal yang menertawakan guru. Ketegangan antar lembaga negara bukan lagi teori buku teks, tapi drama harian. Reformasi kepolisian berubah jadi slogan kosong, seperti baliho kampanye yang lupa diturunkan.

Di level sosial, rakyat makin curiga. LSM makin galak. Akademisi makin vokal. Demonstrasi bukan soal “kalau”, tapi “kapan”. Polisi, yang tiap hari menilang rakyat atas nama hukum, kini ditatap dengan mata kecewa, ternyata hukum cuma wajib ke bawah, tidak ke atas.

Inilah ironi besar itu. Rakyat diminta taat hukum sampai ke detail paling remeh. Sementara hukum di level atas diperlakukan seperti dekorasi ruang tamu. Ada, tapi tak perlu dipakai. Di titik ini, publik tak lagi marah, mereka kecewa berat. Kecewa yang dingin. Kecewa yang mematikan. Kecewa yang membuat orang berhenti percaya.

Foto Ai hanya ilustrasi

Publisher : Kris#camanewak

Komentar0

Type above and press Enter to search.